Don't make friends with bad persons, who are negatives or hurt you pyshically and mentally; it makes sense. Don't marry them, it makes sense. Don't make friends or don't have married with someone who are not in your race, your tribe, who don't have faith in the same religion as yours; it doesn't make sense. At all. You are not Hitler. And we've passed millenium, people. All we need is love. Peace, MG.

Thursday, September 20, 2012

Pasal 34 Ayat 1


Dingin ini menusuk
Sebab laku pejabat busuk
Merasuki sistem hingga ke rusuk
Demi pundi-pundi menggemuk
Cabiklah! Gagas mereka yang lapar
Anjur mereka yang kerap bertanya kabar
Tentang fakir miskin dan anak terlantar
Siapa yang memelihara, wahai kita yang gentar?
“Oleh negara!” seru yang berperut begah
Sambil meretas dari bilik yang megah
Yang merajuk,  meludah sampai tumpah
Katanya kita tak ikut salah

Benarkah?

Wednesday, August 15, 2012

Dua Bulan Penuh Kejutan


Telah kurang lebih dua bulan saya meraba kehidupan di Desa Penai, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Eh, maaf, maksud saya, Kota Penai. Daerah yang masih akan saya tinggali hingga sepuluh bulan ke depan, menurut saya sudah kehilangan identitasnya sebagai sebuah desa. Namun fisiknya masih tanggung untuk disebut sebagai kota. Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, sebuah daerah sepantasnya disebut kota jika sudah memiliki jaringan listrik dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar bidang pertanian. Memang, di Penai dua poin itu belum bisa dicoret dari daftar karakteristik daerah; namun dari tingkat perekonomian penduduk, saya rasa bolehlah predikat desa digeser dari nama Penai.
Kalau akun twitter TMC Polda Metro Jaya suka menyebut “anak-anak tanggung” sebagai subtitusi kata “anak baru gede”, barangkali Desa Penai juga bisa disebut sebagai Kota “Tanggung” Penai. Terkejut? Sudah tentu. Semenjak masih didampingi Pengajar Muda sebelumnya di desa ini, sudah beragam kejutan yang saya terima dari bekas pulau bergerak tersebut.

Kejutan Pertama

Tingkat perekonomian penduduk desa cukup tinggi. Orang terkaya di Penai punya Ford Ranger, speed boat (di sini disebut speed terbang), baju bermerek mulai dari jeans Wrangler dan kaos Poshboy. Bukan maksud mengukur kesuksesan dari merek barang yang dimiliki, tapi tidak kusangka akan menemukan hal-hal semacam itu di Penai.
Mata pencaharian utama penduduk desa ini adalah tambang emas, menoreh getah karet, dan berdagang. Saya belum tahu pasti berapa gram emas yang bisa dihasilkan dalam sehari. Yang pasti, dari satu kilogram getah karet yang bisa ditoreh oleh penduduk, mereka mendapatkan upah minimal Rp 9.000,00 dan maksimal Rp 21.000,00. Harga karet turun jika sedang kemarau. Jika musim hujan, harganya akan naik. Sementara harga getah karet biasanya, taruhlah Rp 10.000,00 hingga Rp 11.000,00. Ketika libur kenaikan kelas, beberapa orang tua sering memberdayakan anaknya untuk turut menoreh. Dari hasil kerja seorang ibu dan seorang anak, tiap hari mereka dapat menoreh 10 kg getah karet.
Rumah di Penai banyak yang sudah terbuat dari bata dan beton. Murid saya bahkan ada yang memiliki Blackberry. Beberapa warga Penai memiliki rumah dan usaha rumah kos di Sintang, kabupaten setelah Kapus Hulu. Ah, tapi bukannya jika tingkat perekonomian suatu daerah tinggi, bukankah kita harus bersyukur?

Kejutan Ke-dua

Peristiwa ini, mungkin salah satu yang membuat saya kerap tertawa kecil jika mengingatnya. Kamis, 20 Juli 2012, ketika sedang menikmati es teh manis saat waktu istirahat kedua, tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya masuk ke kantor guru. “Bu Retti mana?” tanya laki-laki yang ternyata adalah Paulus, Kepala Desa Penai. “Ya, ada apa pak?” ujar saya sambil menghampiri Pak Kades, sama herannya dengan kepala sekolah dan para guru dalam ruangan tersebut. “Begini, saya mau menjemput Bu Retti ke Miau Merah..”
Glek. Tenggorokan saya bagai tersekat. Hari itu adalah hari pembukaan KRK (Kebangun Rohani Katolik) di Desa Miau Merah. Sudah dari minggu lalu Pak Kades dan segenap umat Katolik mengajak saya untuk ikut. “Tim dari Jakarta yang bikin acara lho, bu,” iming-iming mereka. Acara tersebut berlangsung pada minggu pertama sekolah. Kalaupun saya memang tertarik mengikuti acara tersebut, tidak sepantasnya saya langsung minta izin padahal baru minggu pertama mengajar. Terlepas dari pencarian spiritual yang sedang saya jalani dan betapa saya berusaha tidak terlibat dalam ranah keagamaan saat mengemban tugas sebagai pengajar muda, ternyata takdir sudah menorehkan garisnya sendiri. “Kita cuma ikut misa pembukaan bu, nanti malam pulang lagi ke Penai. Saya dan Pak Hamid juga tidak daftar ikut KRK..” (Pak Hamid adalah seorang penduduk yang cukup disegani di Penai, almarhum ayahnya adalah temanggung)
Yang terjadi, terjadilah. Dengan Pak Kades dan beberapa warga, saya turun ke Miau Merah. Setelah menempuh perjalanan air dengan speed boat dan perjalanan darat menggunakan mobil selama total sekitar tiga jam, sampailah kami di Miau Merah. Sampai di gereja, ternyata warga Penai yang mendapat mandat untuk mengisi paduan suara. Jadilah saya bergabung dengan warga lain untuk berlatih nyanyian yang akan dilagukan pada misa pembukaan di malam harinya.
Ternyata KRK tersebut cukup unik karena acara pembukaannya diwarnai sentuhan adat Dayak. Tidak ketinggalan, tuaknya. Yah, bisa dibilang untung juga Pak Kades berinisiatif untuk menjemput saya. Terima kasih ya Pak!


 



Kejutan Ke-tiga

Minggu, 29 Juli 2012, ada dua pasangan yang pernikahannya diberkati di gereja Katolik. Seminggu sebelum acara berlangsung, entah dapat ide darimana, Pak Hamid mendaulat saya untuk menyanyi duet dengan Fila, seorang murid SMP. Entah saya dapat ide darimana juga, saya menyanggupi amanat tersebut. Ternyata lagu yang dimaksud adalah “Di Doa Ibuku”, dan akan dinyanyikan saat para mempelai sungkem (minta doa restu) pada orang tua atau wali masing-masing. Mengingat talenta sebagai vokalis tidak dianugerahkan Yang Di Atas pada saya, tiap latihan hingga hari H tiba, saya hanya berharap semoga prosesi yang seharusnya kusyuk dan mengharukan tersebut tidak rusak karena suara saya..

Kejutan Ke-empat

Jumat, 3 Agustus 2012. Sore hari di lapangan sekolah, saya sedang membuat foto profil para murid yang mengikuti lomba karya tulis untuk seleksi delegasi Konferensi Anak Indonesia 2012. Tiba-tiba datanglah murid saya, kelas 6, bernama Suhendra Kelvin. Dia datang mengendarai sepeda dan tangan kirinya memegang sekantung es jeruk.
Iseng saya bertanya, “Apa itu?” walau itu pertanyaan retoris.
Suhendra balas bertanya, “Mau, bu?”
“Mau,” jawab saya, masih iseng.
Lalu saya melanjutkan memotret anak-anak. Beberapa menit kemudian datanglah Suhendra dengan sekantung es jeruk lain. Dia serahkan es jeruk baru itu ke tangan saya.
Saat saya tanya berapa harganya, dia berujar, “Gak tahu, bu!” sambil berlalu mengayuh sepedanya. Sekantung es jeruk dari seorang murid,  tidak terpikir hal lain untuk diharapkan di sore hari yang terik tersebut.

Saya yakin masih banyak kejutan lain dari Penai, dan anak-anak saya, bukan begitu? (:

Tuesday, August 14, 2012

Sebelum Fajar di Kapuas Hulu


Riak air menyeruak
Anak-anak sungai berarak
Tiba aku, kamu, kita
Digiring terik khatulistiwa
Siapakah kita yang menjelang petang?
Pantaskah kita jadi jembatan di atas jurang?
Kita masih rabun
Walau sepuluh tali telah tersimpul
Saling menyusur hingga hulu
Walau diombang-ambing dalam perahu
Siapakah kita yang merindu laku?
Pantaskah kita menjelma bapak, ibu guru?
Asa kita bara bagi mereka
Masih, di sana
Riak air menyeruak
Dan anak-anak sungai berarak


Jatiluhur, 24 Mei 2012

Teruntuk seluruh Pengajar muda. Baik yang telah tunai bertuga, maupun yang sedang berjuang. Terutama bagi kalian, keluarga Kapuas Hulu. Angkat kepalamu, kawan! Saling berpegang pundak! Demi lunasnya janji kemerdekaan, demi anak-anak! (:

Monday, July 2, 2012

Secuil perintis



Tadinya ingin membuat video tentang Desa Penai, namun ternyata.. Lebih banyak foto tentang pendahulu saya. Berikut secuil tentang Abdul Aziz Jaziri, Pengajar Muda Angkatan II Desa Penai, Kabupaten Kapuas Hulu. Dari yang secuil, semoga semangat mendidik oleh para yang terdidik tidak mengerdil (:

Friday, June 29, 2012

Pulang, untuk Setahun dan Selamanya



Selasa, 19 Juni 2012. Penanda waktu di layar ponselnya menunjukkan pukul 11:47. Sambil menyandarkan diri pada bangku di bus Damri jurusan Putussibau – Sintang, dia menolehkan kepala pada kawan seperjuangan yang masih berada dalam jarak pandangnya. Abdul Aziz Jaziri, pengajar muda angkatan II, yang sekarang telah habis masa pengabdiannya di SDN 05 PB Penai. Mulai tahun ajaran baru, tanggung jawab pada pundak Aziz dialihkan pada dia, penggantinya. Di belakang Aziz duduklah Didi Suryana, kawannya yang juga baru meyelesaikan pelatihan intensif pengajar muda angkatan IV. Yang sedang tidur persis di sebelahnya adalah Mirah Mahaswari, juga pengajar muda angkatan IV, yang akan mengabdi di kecamatan sebelah.

Berusaha tidak terlalu memikirkan apa yang menantinya di desa, dia memasang headset pada ponsel, menyalakan aplikasi pemutar musik, memilih opsi shuffle. Satu per satu isi playlist-nya mengalun hingga sampailah pada sebuah lagu yang membuatnya tersentak.

“Sementara
Lupakanlah rindu
Sadarlah hatiku
Hanya ada kau dan aku”

Sadarlah dia. Mulai saat itu, hanya akan dia dan dirinya, dia dan hatinya, dia dan desanya, dia dan (calon) anak-anaknya. Sebaris puisi Rendra terngiang dalam kepalanya.

“Aku pergi dan kakiku adalah hatiku
Sekali pergi menolak rindu”

Pada kampung halaman, kerabat maupun sahabat. Mulai saat itu hingga setahun mendatang. Setahun hanyalah sementara, bukan waktu yang kekal, mungkin juga tidak cukup untuk memberi pendidikan yang layak sebagai bekal. Tapi dia sudah berikrar, saat pertama sampai di Putussibau, Minggu, 17 Juni 2012, disaksikan aliran sungai terpanjang di negeri ini.

Sungai Kapuas
Menceburkan diri padanya
minum dari arusnya
hari ini untuk setahun dan selamanya

Ini bukan tentang dia. Yang utama bukan kesejatian dirinya, tapi kemajuan desa dan anak-anaknya. Ilmu pedadogisnya baru seumur jagung, wawasannya juga baru selebar punggung. Namun dia percaya, dia tidak sendiri. Mimpinya adalah mimpi jutaan anak negeri. Namun dia percaya, tindakan nyata lah yang membuat asa menjadi berarti.

Dari kawan-kawannya, dia mengalihkan pandangan ke jendela. Bus melaju melalui jalan beraspal yang naik turun, dengan hutan di kanan kirinya. Langit biru mengiringi perjalanannya ke Penai. Setelah kurang lebih delapan jam menempuh jalur darat dan satu setengah jam melalui jalur air, akhirnya dia pulang. Untuk setahun dan selamanya.

Terima kasih kepada Float yang mencipta Sementara dan Rendra yang menulis Lagu Angin (:


Monday, June 25, 2012

Kembali


Lama sudah tidak saya goreskan curahan maupun pemikiran pada halaman ini. Dosa bagi penulis, katanya. Kepada diri saya sendiri dan kepada halaman yang kuacuhkan selama hampir lima bulan, pengakuan dosa dan maaf mungkin tidak cukup. Maka biarkan saya memulai lagi, seperti saat ini saya sedang menata kembali hidup yang sempat tidak  saya hidupi.

Pulang
Putussibau, 17 Juni 2012
Mess Pemda
Saat ini saya sedang berada di kamar 09, Mess Pemda, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Bersama saya adalah Cantika Marlangen, yang sedang beristirahat sambil sejenak memantau perkembangan dunia luar dari layar telepon genggamnya. Saya dan Tika, seperti itu Cantika biasa dipanggil, serta delapan orang Pengajar Muda angkatan 4 lainnya terdampar di bumi uncak Kapuas ini sejak kemarin. Sekitar pukul 8 pagi, 16 Juni 2012 kami tiba di Bandara Supadio, Pontianak. Setelah sebelumnya beristirahat di rumah Bupati Muhammad Nasir, kami diajak oleh tiga orang Pengajar Muda (PM) 2 mengunjungi Megamall. Cukup unik melihat para PM 2 antusias melihat mall dan mengajak kami makan junk food di sebuah kedai pizza. "Kira-kira enam bulan yang lalu kami terakhir makan yang seperti ini," kata Belgis, seorang PM 2 Kapuas Hulu. Setelah menikmati makanan dengan khusyuk, karena tak tahu entah kapan kami akan menjumpai rasa dan bentuk seperti itu lagi, kami pergi ke Putussibau, ibukota kabupaten Kapuas Hulu.

Hidup bersama orang-orang gila
April - Juni 2012
Jatiluhur, Purwakarta
Training intensif PM 4 dibuka pada 23 April 2012. Saat itu saya belum menyadari betapa banyak wawasan dan cara pandang baru yang akan saya dapat. Ruang yang terbatas dalam beberapa ribu karakter tidak akan cukup untuk menulis ulang tentang siapa, apa, mengapa, maupun bagaimana kehidupan yang saya jalani selama dua bulan pelatihan.
Yang pasti, selama dua bulan itu saya tinggal serta mengalami suka duka bersama ORANG-ORANG GILA. Teman-teman (yang sangat itu masih menjadi calon) PM 4 adalah orang-orang tergila yang pernah saya kenal. Para fasilitator, narasumber, departemen operasi serta seluruh manusia yang terlibat dalam Gerakan Indonesia Mengajar (apalagi perintisnya!), adalah ORANG-ORANG GILA. Melalui ORANG-ORANG GILA tersebut, Sang Hyang Widhi mengembangkan kapasitas diri saya. Hidup bersama orang-orang gila ini juga menempa idealisme sampai egoisme saya, agar apa yang saya peroleh tidak digunakan hanya sebagai 'pengakuan' namun juga bermanfaat bagi sesama. Such a inspirational experience! :D

Resign dari Tempo
Maret 2012
Fatmawati, Jakarta Selatan
Masih jelas dalam ingatan saya, liputan terakhir yang saya kerjakan adalah tewasnya seorang kameraman TVRI, akibat ditembak orang tak dikenal. Setelah menunggu hasil otopsi hingga kira-kira pukul 9 malam di ruang jenazah RS Fatmawati, saya segera mengetik berita cepat di telepon genggam. Baterai menipis, sementara saya masih hutang berita yang diliput pada sore hari itu. Setelah terpaksa menolak ajakan kawan-kawan media lain untuk makan malam bersama, saya bergegas menuju 7 Eleven terdekat. Dengan memanfaatkan koneksi internet, saya mengetik dan mengirim berita melalui laptop. Sambil mengetik, saya berkirim pesan singkat dengan redaktur piket pada malam Senin itu. Setelah tugas saya selesai sekitar pukul 11 malam, sayamenikmati minuman sambil mengistirahatkan otot-otot yang tegang. Tiba-tiba sebuah pesan dari redaktur datang. Sempat saya melengos dalam hati, "apa lagi ini, bukannya berita sudah saya kirim dan katanya OK?". Maklum, hari itu cukup melelahkan. Setelah liputan sore hari di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat, saya harus mengejar berita ke kawasan Jakarta Selatan. Ternyata pesan singkat itu berbunyi,

Terima kasih ya, Retti jurnalis :)

Begitulah redaktur saya. Ketika saya pamit pada rapat mingguan, dia mengatakan kepada saya, "Retti, saat menjadi guru kamu hanya mengajar dan memberi informasi pada 30 sampai paling banyak 40 orang murid dalam satu kelas. Sementara jika kamu menjadi jurnalis, kamu dapat memberi informasi pada sekian juta pembacamu."

Pendapatnya tidak salah, tapi saya tidak harus setuju dengan hal itu bukan? :p
Setelah dinyatakan diterima sebagai calon PM 4, saya makin sering membaca blog para PM. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa mereka bukan hanya mengajar, namun juga membawa perubahan pada daerah penempatan mereka. Dampak kehadiran PM di daerah-daerah tersebut cukup positif, saya rasa. Sesuai dengan pernyataan Anies Baswedan, pendiri Gerakan Indonesia Mengajar, bahwa mendidik adalah tanggung jawab orang terdidik. Bukan guru atau dosen saja (:

Tiga bulan menjadi calon reporter Tempo desk kriminal dan perkotaan, (makin) membuka wawasan saya tentang kerasnya ibukota. (Makin) membuka mata saya begitu banyak PR yang harus diselesaikan di ibukota, bersama, oleh pemerintah dan penduduknya. (Makin) membuka mata saya tentang daerah abu-abu hasil kesepakatan bersama. Tanpa ditempatkan di desk kriminal dan perkotaan, mungkin saya tidak akan pernah bersentuhan dengan bandar narkoba, penadah barang curian, ketua RT RW, lurah, camat, gubernur, kapolres, kanit reskrim, intel, penduduk tanah merah, penduduk bantaran sungai, dan sebagainya. Masih banyak cerita yang ingin saya bagikan, mungkin pada laman baru. Terima kasih Tempo, meski hanya tiga bulan saya mencicipi bekerja di dalammu, telah banyak yang saya peroleh. Termasuk kesejatian diri. Sekarang saya pulang, ke tempat anak-anakku berada, bumi uncak Kapuas. Sampai bertemu lagi, ibukota (:

saat saya mem-publish post ini, saya sedang bermalam di rumah Kepala UPT Kecamatan Silat Hilir. Kebetulan di sini sinyal internet "agak lumayan" :p

Monday, January 23, 2012

Homesick

Selasa, 17 Januari 2012
Terjebak di tengah kemacetan ibukota yang menyesakkan rongga dada
Dari tulang belikat sampai mata kaki bersyukur tak di luar hisap asap pekat
Namun duduk menjadi saksi padatnya kendaraan kiri kanan depan belakang juga tak bikin senang
Ruang batin hingga kepala diracuni lelah karena kewajiban yang bukan kehendak
Hening dipecah tanyanya kepada saya, dirinya, segenap warga Jakarta
"Orang kok bisa ya kerja dua puluh tahun kayak gini"
"Ya kamu tanyalah sama diri kamu sendiri, mau gak. Aku sih gak mau"
Ternyata capai dan anjingnya jalanan hari itu bikin tak peka juga bikin sensitif
Lalu air mata kami jatuh
Sebenar-benarnya, sesungguh-sungguhnya
Semudah itu menangis karena miris
Atau malah karena, justru karena itu?


Beberapa minggu kemudian
Bertemu seorang sahabat, salah satu alternatif bernapas di sela kesibukan yang bangsat
Bicara ngalor-ngidul hingga tukar cerita tentang hari itu
Sama-sama menengok ke belakang, pengalaman pribadi masing-masing
Di angkutan umum berdesakan dan macet, bikin pusing
Tapi kami belum berumah tangga, masih punya orang tua, pulang ada sembarang
Di kepala langsung para bapak dan ibu pekerja yang terbayang
Berangkat macet pulang macet, kerja bisa saja karena terpaksa, anak sudah dua
Ternyata banyak yang tahan
Atau malah, banting setir dari manusia jadi robot karena tak tahan?
Dari bibirnya terucap sebuah kesimpulan,
"Semua orang Jakarta itu gila. Kita semua gila"

Alice: But I don't want to go among mad people.
The Cat: Oh, you can't help that. We're all mad here. I'm mad. You're mad.
Alice: How do you know I'm mad?
The Cat: You must be. Or you wouldn't have come here.

Mari kabur, pergi jauh
Sebelum luntur, jiwa luruh
Sumpek itu, bukan rumah
Mari pulang, bahagialah.

Monday, January 2, 2012

Lalu Apa?

Tujuh hari telah berlalu dari malam tahun baru,
yang kabarnya adalah tahun kiamat.
Untungnya, atau sayangnya, waktu tetap melaju
dan napas kadang masih terhela berat.
Bersyukur karena keluarga lengkap, partner hebat, tempat berteduh nyaman, dan aman dari istilah pengangguran.
Melamun ke belakang,
mimpi sendiri seakan menyerang.
"Kalau SMA harus masuk jurusan Bahasa"
"Kalau kuliah harus masuk jurusan Jurnalistik"
"Waktu semester dua berkata: mungkin lebih cocok di media seperti Tempo daripada Kompas"
Kalau yang dulu kalau sudah menjadi telah, lalu apa?
Ketika pada masa lampau bahkan seorang Lennon yang ingin jadi jurnalis menjelma musisi?
Melamun ke belakang,
mimpi ke-tiga kini buat berang,
karena sudah dibuang,
tapi masih dicoba karena tertantang,
dan malah jadi bumerang.
Logika bilang, merumuskan yang masih mau dinoktahkan itu hak istimewa manusia.
Walau si (mungkin) bijak suka berkata, keabsahan rumus masih ditentukan sang pencipta.
Bahagia?

8 Januari 2012
Galeri Foto Jurnalistik Antara