Don't make friends with bad persons, who are negatives or hurt you pyshically and mentally; it makes sense. Don't marry them, it makes sense. Don't make friends or don't have married with someone who are not in your race, your tribe, who don't have faith in the same religion as yours; it doesn't make sense. At all. You are not Hitler. And we've passed millenium, people. All we need is love. Peace, MG.

Monday, June 25, 2012

Kembali


Lama sudah tidak saya goreskan curahan maupun pemikiran pada halaman ini. Dosa bagi penulis, katanya. Kepada diri saya sendiri dan kepada halaman yang kuacuhkan selama hampir lima bulan, pengakuan dosa dan maaf mungkin tidak cukup. Maka biarkan saya memulai lagi, seperti saat ini saya sedang menata kembali hidup yang sempat tidak  saya hidupi.

Pulang
Putussibau, 17 Juni 2012
Mess Pemda
Saat ini saya sedang berada di kamar 09, Mess Pemda, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Bersama saya adalah Cantika Marlangen, yang sedang beristirahat sambil sejenak memantau perkembangan dunia luar dari layar telepon genggamnya. Saya dan Tika, seperti itu Cantika biasa dipanggil, serta delapan orang Pengajar Muda angkatan 4 lainnya terdampar di bumi uncak Kapuas ini sejak kemarin. Sekitar pukul 8 pagi, 16 Juni 2012 kami tiba di Bandara Supadio, Pontianak. Setelah sebelumnya beristirahat di rumah Bupati Muhammad Nasir, kami diajak oleh tiga orang Pengajar Muda (PM) 2 mengunjungi Megamall. Cukup unik melihat para PM 2 antusias melihat mall dan mengajak kami makan junk food di sebuah kedai pizza. "Kira-kira enam bulan yang lalu kami terakhir makan yang seperti ini," kata Belgis, seorang PM 2 Kapuas Hulu. Setelah menikmati makanan dengan khusyuk, karena tak tahu entah kapan kami akan menjumpai rasa dan bentuk seperti itu lagi, kami pergi ke Putussibau, ibukota kabupaten Kapuas Hulu.

Hidup bersama orang-orang gila
April - Juni 2012
Jatiluhur, Purwakarta
Training intensif PM 4 dibuka pada 23 April 2012. Saat itu saya belum menyadari betapa banyak wawasan dan cara pandang baru yang akan saya dapat. Ruang yang terbatas dalam beberapa ribu karakter tidak akan cukup untuk menulis ulang tentang siapa, apa, mengapa, maupun bagaimana kehidupan yang saya jalani selama dua bulan pelatihan.
Yang pasti, selama dua bulan itu saya tinggal serta mengalami suka duka bersama ORANG-ORANG GILA. Teman-teman (yang sangat itu masih menjadi calon) PM 4 adalah orang-orang tergila yang pernah saya kenal. Para fasilitator, narasumber, departemen operasi serta seluruh manusia yang terlibat dalam Gerakan Indonesia Mengajar (apalagi perintisnya!), adalah ORANG-ORANG GILA. Melalui ORANG-ORANG GILA tersebut, Sang Hyang Widhi mengembangkan kapasitas diri saya. Hidup bersama orang-orang gila ini juga menempa idealisme sampai egoisme saya, agar apa yang saya peroleh tidak digunakan hanya sebagai 'pengakuan' namun juga bermanfaat bagi sesama. Such a inspirational experience! :D

Resign dari Tempo
Maret 2012
Fatmawati, Jakarta Selatan
Masih jelas dalam ingatan saya, liputan terakhir yang saya kerjakan adalah tewasnya seorang kameraman TVRI, akibat ditembak orang tak dikenal. Setelah menunggu hasil otopsi hingga kira-kira pukul 9 malam di ruang jenazah RS Fatmawati, saya segera mengetik berita cepat di telepon genggam. Baterai menipis, sementara saya masih hutang berita yang diliput pada sore hari itu. Setelah terpaksa menolak ajakan kawan-kawan media lain untuk makan malam bersama, saya bergegas menuju 7 Eleven terdekat. Dengan memanfaatkan koneksi internet, saya mengetik dan mengirim berita melalui laptop. Sambil mengetik, saya berkirim pesan singkat dengan redaktur piket pada malam Senin itu. Setelah tugas saya selesai sekitar pukul 11 malam, sayamenikmati minuman sambil mengistirahatkan otot-otot yang tegang. Tiba-tiba sebuah pesan dari redaktur datang. Sempat saya melengos dalam hati, "apa lagi ini, bukannya berita sudah saya kirim dan katanya OK?". Maklum, hari itu cukup melelahkan. Setelah liputan sore hari di kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat, saya harus mengejar berita ke kawasan Jakarta Selatan. Ternyata pesan singkat itu berbunyi,

Terima kasih ya, Retti jurnalis :)

Begitulah redaktur saya. Ketika saya pamit pada rapat mingguan, dia mengatakan kepada saya, "Retti, saat menjadi guru kamu hanya mengajar dan memberi informasi pada 30 sampai paling banyak 40 orang murid dalam satu kelas. Sementara jika kamu menjadi jurnalis, kamu dapat memberi informasi pada sekian juta pembacamu."

Pendapatnya tidak salah, tapi saya tidak harus setuju dengan hal itu bukan? :p
Setelah dinyatakan diterima sebagai calon PM 4, saya makin sering membaca blog para PM. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa mereka bukan hanya mengajar, namun juga membawa perubahan pada daerah penempatan mereka. Dampak kehadiran PM di daerah-daerah tersebut cukup positif, saya rasa. Sesuai dengan pernyataan Anies Baswedan, pendiri Gerakan Indonesia Mengajar, bahwa mendidik adalah tanggung jawab orang terdidik. Bukan guru atau dosen saja (:

Tiga bulan menjadi calon reporter Tempo desk kriminal dan perkotaan, (makin) membuka wawasan saya tentang kerasnya ibukota. (Makin) membuka mata saya begitu banyak PR yang harus diselesaikan di ibukota, bersama, oleh pemerintah dan penduduknya. (Makin) membuka mata saya tentang daerah abu-abu hasil kesepakatan bersama. Tanpa ditempatkan di desk kriminal dan perkotaan, mungkin saya tidak akan pernah bersentuhan dengan bandar narkoba, penadah barang curian, ketua RT RW, lurah, camat, gubernur, kapolres, kanit reskrim, intel, penduduk tanah merah, penduduk bantaran sungai, dan sebagainya. Masih banyak cerita yang ingin saya bagikan, mungkin pada laman baru. Terima kasih Tempo, meski hanya tiga bulan saya mencicipi bekerja di dalammu, telah banyak yang saya peroleh. Termasuk kesejatian diri. Sekarang saya pulang, ke tempat anak-anakku berada, bumi uncak Kapuas. Sampai bertemu lagi, ibukota (:

saat saya mem-publish post ini, saya sedang bermalam di rumah Kepala UPT Kecamatan Silat Hilir. Kebetulan di sini sinyal internet "agak lumayan" :p

No comments:

Post a Comment