Don't make friends with bad persons, who are negatives or hurt you pyshically and mentally; it makes sense. Don't marry them, it makes sense. Don't make friends or don't have married with someone who are not in your race, your tribe, who don't have faith in the same religion as yours; it doesn't make sense. At all. You are not Hitler. And we've passed millenium, people. All we need is love. Peace, MG.

Sunday, April 27, 2014

Sudah Lama, Masih Relevan

28 Januari 2014


Ada yang bicara di ujung telepon,

"Kamu lari dari orang-orang yang mencintai kamu."

Ada yang tidak bisa menyangkal, namun gemas untuk menerima. Maka dia cuma tertawa. Keras.

"HAHAHA."

Saturday, January 11, 2014

Kejujuran yang tertahan

Jiwa yang pernah mengenal
Bisa alpa dan juga terlupakan
Aku pernah menemui yang serupa pada raga-raga lama
Di antara jarak pandang kami ada sekat

Pada raga yang pernah sering menggaung di kubah-kubah milik Isa
Ada cerita-cerita malam terungkap
Jari jemari kami menari dan wajah kami bertatapan melalui layar, bukan yang terkembang dan tidak dapat disibak
Dia singgah sebentar, tapi penuh terkuak, terdedah, terkangkang
Sekarang gerai rambutnya sudah terjuntai pada wangi yang pernah memintasi Samudra Hindia
Tapi kekaguman kami lapang
Ada batas serupa asap, meski tak betul pekat

Kemudian hadir yang dibingkai mazhab
Dari kelu yang melata karena kata-kata
Menyempal binar yang kentara di antara beku
Namun bukan seperti Mariamin dan Amiruddin dalam Azab dan Sengsara, dimana luka antara mereka muncul karena terbuka
Batas itu sementara, dan (mungkin akan selamanya) lekat, karena kejujuran yang tertahan.

Tuesday, February 26, 2013

knowing every particular objects



tahu sedikit merangsang laku untuk mencari tahu lebih
walau awalnya tidak peduli dan tidak mau tahu
lalu sekarang berpikir bahwa lebih baik tidak tahu

Monday, February 25, 2013

Bhinneka

keluarga papa manado nasrani, mama muslim jawa madura, sekarang belajar bersama anak-anak dayak-tionghoa. selamat pagi matahari tunggal ika! (:

24 februari 2013 09:06

Sunday, February 10, 2013

Sepenggal Kompromi dan Sebuah Tanya Pada Papa Mama

Bagaimana kabar papa dan mama? Masih seperti November dan Desember lalu, hujan gemar berkunjung ke tempatku. Tapi tidak seperti kemarin saat Penai sedang musim durian. Dulu, tiap hari gantian satu per satu murid membawakanku sebuah. Sehari bisa dapat delapan buah pemberian. Bosan dimakan begitu saja, aku diajari Bu Ribka cara membuat tempoyak. Awalnya lidahku mengernyit, lama kelamaan suka karena biasa. Sudah papa dan mama coba, kan? Yang ketika cuti kemarin kubawakan setoples. Benda itu kusembunyikan di tas punggung agar tak ketahuan petugas bandara. Kabarnya pesawat bermusuhan dengan gas yang timbul dari proses fermentasi durian dan garam tersebut.


Pokoknya, pa, ma, di desa ini aku tak pernah kelaparan. Memang, soal makanan aku boleh gembira. Mengenai tantanganku di sini, selain infrastruktur yang tidak mendukung kondisi geografis, apalah lagi kalau tentang pendidikan. Aku ingat teman dekatku sering mengajak untuk berkompromi. Di sini aku mengalami kompromi yang sebenar-benarnya (cenderung pemaksaan, mungkin?). Ingatkah ma, bahwa aku benci apa yang para badan pengurus suatu sistem sebut sebagai mark up, apa yang para guru sekolah dasarku dulu bilang katrol nilai? Aku tak mau menghakimi diriku sebagai paling benar, aku hanya mau berusaha segan melakukan hal-hal seperti itu, terutama saat mengemban kehormatan sebagai guru. Ternyata aku dipaksa oleh keadaan untuk melakukannya. Sampai hati bila aku tak mengusahakan agar anak-anakku ikut ujian kelulusan SD, hanya karena sebutir atau lebih nilai pelajaran pada rapornya tidak tuntas. Aku tak menolak, namun juga tak menerima mentah-mentah gagasan sial tersebut.

“Ceritakan dalam selembar kertas, apa yang akan kalian lakukan dalam lima tahun ke depan. Terserah kapan kalian antarkan tugas itu ke ibu. Nanti baru ibu beri rapor kalian,” ujarku pada serombongan murid yang kubantu agar nilainya memenuhi syarat ketuntasan. Hari-hari berikutnya, bergantian mereka menyerahkan cerita tentang apa rencana mereka lima tahun ke depan. Ada yang memberiku cerita detil, ada yang hanya gambaran singkat.

Sebuah wacana karya Fetronila membuatku termenung.  Tulisnya, “... Ibu sapengen sekali seperti ibu bisa membahagiakan ke dua orang tua nya...” Adakah kebenaran dalam tulisan itu , pa, ma, walau hanya secuil, bahwa aku bisa membahagiakan papa dan mama? Ingatku, sering aku melakukan paksaan agar inginku dituruti. Tingkahku sama saja dengan keadaan di sini. Bukan kompromi namanya kalau ada pihak yang merasa ‘dipaksa’. Ketika itu, pastilah aku membuat papa mama tidak bahagia. Saat-saat itu aku tidak memedulikan kekuatan kompromi, aku mengacuhkan pembicaraan dari hati ke hati untuk mencari jalan tengah terbaik. Maaf pasti tidak cukup tanpa tindakan. Tenanglah, pa, ma, sebagai pengajar malah akulah yang banyak belajar dari kehidupan yang belum sampai setahun kujalani di sini.

Bolehkah aku minta doa papa dan mama? Semoga hidup memberikan pilihan-pilihan kepada anak-anakku yang dapat mereka kompromikan, sehingga mereka tidak dipaksa meniti jalan buntu untuk melanjutkan pendidikan dan membahagiakan orang tua. Semoga.

Note:
Bu Ribka adalah guru honor yang menemani hari-hariku selama enam bulan ke belakang. Sekarang dia telah bekerja sebagai tutor Rumah Pintar di barak perkebunan sawit sebuah perusahaan multinasional. Aku memperoleh banyak pelajaran padanya.

Thursday, September 20, 2012

Pasal 34 Ayat 1


Dingin ini menusuk
Sebab laku pejabat busuk
Merasuki sistem hingga ke rusuk
Demi pundi-pundi menggemuk
Cabiklah! Gagas mereka yang lapar
Anjur mereka yang kerap bertanya kabar
Tentang fakir miskin dan anak terlantar
Siapa yang memelihara, wahai kita yang gentar?
“Oleh negara!” seru yang berperut begah
Sambil meretas dari bilik yang megah
Yang merajuk,  meludah sampai tumpah
Katanya kita tak ikut salah

Benarkah?

Wednesday, August 15, 2012

Dua Bulan Penuh Kejutan


Telah kurang lebih dua bulan saya meraba kehidupan di Desa Penai, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Eh, maaf, maksud saya, Kota Penai. Daerah yang masih akan saya tinggali hingga sepuluh bulan ke depan, menurut saya sudah kehilangan identitasnya sebagai sebuah desa. Namun fisiknya masih tanggung untuk disebut sebagai kota. Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, sebuah daerah sepantasnya disebut kota jika sudah memiliki jaringan listrik dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar bidang pertanian. Memang, di Penai dua poin itu belum bisa dicoret dari daftar karakteristik daerah; namun dari tingkat perekonomian penduduk, saya rasa bolehlah predikat desa digeser dari nama Penai.
Kalau akun twitter TMC Polda Metro Jaya suka menyebut “anak-anak tanggung” sebagai subtitusi kata “anak baru gede”, barangkali Desa Penai juga bisa disebut sebagai Kota “Tanggung” Penai. Terkejut? Sudah tentu. Semenjak masih didampingi Pengajar Muda sebelumnya di desa ini, sudah beragam kejutan yang saya terima dari bekas pulau bergerak tersebut.

Kejutan Pertama

Tingkat perekonomian penduduk desa cukup tinggi. Orang terkaya di Penai punya Ford Ranger, speed boat (di sini disebut speed terbang), baju bermerek mulai dari jeans Wrangler dan kaos Poshboy. Bukan maksud mengukur kesuksesan dari merek barang yang dimiliki, tapi tidak kusangka akan menemukan hal-hal semacam itu di Penai.
Mata pencaharian utama penduduk desa ini adalah tambang emas, menoreh getah karet, dan berdagang. Saya belum tahu pasti berapa gram emas yang bisa dihasilkan dalam sehari. Yang pasti, dari satu kilogram getah karet yang bisa ditoreh oleh penduduk, mereka mendapatkan upah minimal Rp 9.000,00 dan maksimal Rp 21.000,00. Harga karet turun jika sedang kemarau. Jika musim hujan, harganya akan naik. Sementara harga getah karet biasanya, taruhlah Rp 10.000,00 hingga Rp 11.000,00. Ketika libur kenaikan kelas, beberapa orang tua sering memberdayakan anaknya untuk turut menoreh. Dari hasil kerja seorang ibu dan seorang anak, tiap hari mereka dapat menoreh 10 kg getah karet.
Rumah di Penai banyak yang sudah terbuat dari bata dan beton. Murid saya bahkan ada yang memiliki Blackberry. Beberapa warga Penai memiliki rumah dan usaha rumah kos di Sintang, kabupaten setelah Kapus Hulu. Ah, tapi bukannya jika tingkat perekonomian suatu daerah tinggi, bukankah kita harus bersyukur?

Kejutan Ke-dua

Peristiwa ini, mungkin salah satu yang membuat saya kerap tertawa kecil jika mengingatnya. Kamis, 20 Juli 2012, ketika sedang menikmati es teh manis saat waktu istirahat kedua, tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya masuk ke kantor guru. “Bu Retti mana?” tanya laki-laki yang ternyata adalah Paulus, Kepala Desa Penai. “Ya, ada apa pak?” ujar saya sambil menghampiri Pak Kades, sama herannya dengan kepala sekolah dan para guru dalam ruangan tersebut. “Begini, saya mau menjemput Bu Retti ke Miau Merah..”
Glek. Tenggorokan saya bagai tersekat. Hari itu adalah hari pembukaan KRK (Kebangun Rohani Katolik) di Desa Miau Merah. Sudah dari minggu lalu Pak Kades dan segenap umat Katolik mengajak saya untuk ikut. “Tim dari Jakarta yang bikin acara lho, bu,” iming-iming mereka. Acara tersebut berlangsung pada minggu pertama sekolah. Kalaupun saya memang tertarik mengikuti acara tersebut, tidak sepantasnya saya langsung minta izin padahal baru minggu pertama mengajar. Terlepas dari pencarian spiritual yang sedang saya jalani dan betapa saya berusaha tidak terlibat dalam ranah keagamaan saat mengemban tugas sebagai pengajar muda, ternyata takdir sudah menorehkan garisnya sendiri. “Kita cuma ikut misa pembukaan bu, nanti malam pulang lagi ke Penai. Saya dan Pak Hamid juga tidak daftar ikut KRK..” (Pak Hamid adalah seorang penduduk yang cukup disegani di Penai, almarhum ayahnya adalah temanggung)
Yang terjadi, terjadilah. Dengan Pak Kades dan beberapa warga, saya turun ke Miau Merah. Setelah menempuh perjalanan air dengan speed boat dan perjalanan darat menggunakan mobil selama total sekitar tiga jam, sampailah kami di Miau Merah. Sampai di gereja, ternyata warga Penai yang mendapat mandat untuk mengisi paduan suara. Jadilah saya bergabung dengan warga lain untuk berlatih nyanyian yang akan dilagukan pada misa pembukaan di malam harinya.
Ternyata KRK tersebut cukup unik karena acara pembukaannya diwarnai sentuhan adat Dayak. Tidak ketinggalan, tuaknya. Yah, bisa dibilang untung juga Pak Kades berinisiatif untuk menjemput saya. Terima kasih ya Pak!


 



Kejutan Ke-tiga

Minggu, 29 Juli 2012, ada dua pasangan yang pernikahannya diberkati di gereja Katolik. Seminggu sebelum acara berlangsung, entah dapat ide darimana, Pak Hamid mendaulat saya untuk menyanyi duet dengan Fila, seorang murid SMP. Entah saya dapat ide darimana juga, saya menyanggupi amanat tersebut. Ternyata lagu yang dimaksud adalah “Di Doa Ibuku”, dan akan dinyanyikan saat para mempelai sungkem (minta doa restu) pada orang tua atau wali masing-masing. Mengingat talenta sebagai vokalis tidak dianugerahkan Yang Di Atas pada saya, tiap latihan hingga hari H tiba, saya hanya berharap semoga prosesi yang seharusnya kusyuk dan mengharukan tersebut tidak rusak karena suara saya..

Kejutan Ke-empat

Jumat, 3 Agustus 2012. Sore hari di lapangan sekolah, saya sedang membuat foto profil para murid yang mengikuti lomba karya tulis untuk seleksi delegasi Konferensi Anak Indonesia 2012. Tiba-tiba datanglah murid saya, kelas 6, bernama Suhendra Kelvin. Dia datang mengendarai sepeda dan tangan kirinya memegang sekantung es jeruk.
Iseng saya bertanya, “Apa itu?” walau itu pertanyaan retoris.
Suhendra balas bertanya, “Mau, bu?”
“Mau,” jawab saya, masih iseng.
Lalu saya melanjutkan memotret anak-anak. Beberapa menit kemudian datanglah Suhendra dengan sekantung es jeruk lain. Dia serahkan es jeruk baru itu ke tangan saya.
Saat saya tanya berapa harganya, dia berujar, “Gak tahu, bu!” sambil berlalu mengayuh sepedanya. Sekantung es jeruk dari seorang murid,  tidak terpikir hal lain untuk diharapkan di sore hari yang terik tersebut.

Saya yakin masih banyak kejutan lain dari Penai, dan anak-anak saya, bukan begitu? (: