Don't make friends with bad persons, who are negatives or hurt you pyshically and mentally; it makes sense. Don't marry them, it makes sense. Don't make friends or don't have married with someone who are not in your race, your tribe, who don't have faith in the same religion as yours; it doesn't make sense. At all. You are not Hitler. And we've passed millenium, people. All we need is love. Peace, MG.

Tuesday, November 29, 2011

Nothing Lasts Forever

Bayangkan kamu terpisah dengan anganmu dan ingin menyalahkan keadaan yang hadir di antara kalian

Entah mengapa yang ada di kepala saya adalah lirik ini

Saat berkaca dan menemukan mimpi menatap saya melalui cermin itu, bagaikan saya ingin melagukan ini untuknya:


It is so easy to see
Dysfunction between you and me
We must free up these tired souls
Before the sadness kills us both

I tried and tried to let you know
I love you but I'm letting go
It may not last but I don't know
Just don't know

If you don't know
Then you can't care
And you show up
But you're not there
But I'm waiting
And you want to
Still afraid that I will desert you

Everyday
With every worthless word we get more far away
The distance between us makes it so hard to stay
But nothing lasts forever, but be honest babe
It hurts but it may be the only way

A bed that's warm with memories
Can heal us temporarily
The misbehaving only makes
The ditch between us so damn deep

Built a wall around my heart
I'll never let it fall apart
But strangely I wish secretly
It would fall down while I'm asleep

If you don't know
Then you can't care
And you show up
But you're not there
But I'm waiting
And you want to
Still afraid that I will desert you, babe

Everyday
With every worthless word we get more far away
The distance between us makes it so hard to stay
But nothing lasts forever, but be honest babe
It hurts but it may be the only way

Tough we have not hit the ground
It doesn't mean we're not still falling,
Oh I want so bad to pick you up
But you're still too reluctant to accept my help
What a shame, I hope you find somewhere to place the blame
But until then the fact remains

Everyday
With every worthless word we get more far away
The distance between us makes you so hard to stay
Nothing lasts forever, but be honest babe
It hurts but it may be the only way

Everyday
With every worthless word we get more far away
The distance between us makes it so hard to stay
But nothing lasts forever, but be honest babe
It hurts but it may be the only way


Maroon 5 - Nothing Lasts Forever



Monday, November 21, 2011

Menghempas Naif


"Orang yang punya uang, bisa bahagia atau gak bahagia. Tergantung pilihan hidup yang dia jalani. Tapi orang yang gak punya uang, bisa dipastikan gak bahagia"

Papa, suatu malam antara Kemanggisan - Kebun Jeruk

Monday, October 10, 2011

Aziatic

Saat saya menulis post ini, 1 jam lagi hari Senin akan berganti, dan saya belum juga mengantuk. Lalu kenapa gak iseng aja ngepost soal Eddie Shin, yang profilenya baru saya temukan beberapa jam lalu.
Kurang kerjaan, memang. Apalgi, tumben-tumbennya kan saya suka sama seorang personil band asal KOREA. Iya, KOREA Selatan tempat asalnya Super Junior, SM*SH, serta inspirator bagi kelahiran 7Icons, Cherybelle, dan SM*SH dalam negeri. Gak, ini gak becanda kok.
Mungkin pengaruh saya masih gak enak badan *pembelaan. Soalnya kemarin saya mual-mual, diare, serta sedikit demam. Pagi ini saya pusing-pusing dan tulang-tulang saya ngilu. Malam ini tinggal sisa pusingnya saja.
Nah, tadi pagi waktu pusing-pusing ngilu-ngilu itu, saya nonton Channel V. Ada tayangan tentang grup band rock r n'b Korea bernama Aziatix. Saya lihat video klipnya, kok bagus ya. Beda sama musik korea yang mainstream. Mereka ini band, main alat musik, nyanyi gak lipsync, nge-rap, dan pelafalan bahasa Inggris-nya bagus sekali. Ternyata mereka orang Korea yang lahir di AS. Ada yang di LA, Boston, New York. Vokalis utamanya, gondrong-gondrong bagus gitu pula.

Nih video klipnya




Lalu di malam kurang kerjaan, ditemani pusing dan mulut pahit ini, saya browsing tentang Aziatix, sebuah grup musik Korea yang menurut mantan kakak kelas Sanur saya, under represented.








Ternyata si vokalis sipit oke bernama Eddie Shin (Eddie 에디). Eddie lahir di Boston, umur 10 tahun ikut keluarganya pindah ke Korea, umur 16 uda jadi penulis lagu, kuliah musik di New York University.
*brb jedotin kepala ke tembok. woaaa.

Tuesday, September 27, 2011

Culture Curious, am I?

Iseng-iseng nyoba quiz by New York Times, I got the result as a Culture Curious. Well, whether this is true or not, you should try too: http://nytimes.visualdna.com

You embrace all varieties of culture and love new ideas that push boundaries and explore new avenues of thought. You love to dress so that your personality shines through and enjoy sharing your unusual perspectives on life with all who will listen. When all is said and done, you are a bit of an intellect with a tendency to do a spot of soul searching from time to time.

You're sophisticated and inquisitive with a real passion for art and culture. You pride yourself on being an early adopter of the latest music and films and always like to have a good book on the go. Your ability to bring together very diverse and even dissenting opinions is rooted in your appreciation for all points of view. You believe in immersing yourself in interesting experiences that make you look at people, places and opportunities from new angles. Being sensitive and creative you want to feel connected to the world around you and actively seek out opportunities to explore it. It's all about broadening your horizons and living life to the full. Anything else would not fulfill your curious nature. You'll love the list of The Best 1,000 Movies Ever Made, the Critics' Picks and Arts Beat.

Friday, September 16, 2011

Jakarta Keras, Sis!

Beberapa hari lalu, saya dan kedua orang tua saya makan malam seperti biasa. Lalu seperti biasa pula, kami berbincang-bincang. Malam itu papa membuka topik tentang peristiwa pemerkosaan dan pembunuhan seorang mahasiswa Binus beberapa waktu lalu.

“Menurut papa itu pelakunya keenakan kalo dihukum mati, harusnya disiksa perlahan-lahan. Misalnya di-bor lututnya, terus dibiarin sembuh, baru disiksa lagi. Keenakan kalo langsung mati..”

Saya langsung bersemangat menyatakan persetujuan saya, bahkan dalam hati saya bilang,

“Keenakan kalo lutut. Potong aja tititnya pelan-pelan. Potong berapa cm gitu, biarin sembuh bentar, potong lagi. Biar tau rasa.”

Dari situ topik pembicaraan pun mengalir.

“Retti tuh gak habis pikir sama orang-orang kayak gitu ya, mereka gak mikir apa ya. Gimana coba kalo ibunya, ato sodara perempuannya, ato pacarnya, ato istrinya yang digituin. Gila”

“Yah orang uda gelap mata kaya gitu mana bisa mikir lagi”

“Gila emang, jalanan di Jakarta nih udah gila. Tiap keluar rumah naek angkot benernya ada aja yang bikin Retti kesel. Cowok-cowok kayak abang-abang yang kampungan itu. Retti pernah bilang sama Sophan, liat aja target Retti 10 taun lagi, minimal bikin 1 daerah di Jakarta bebas dari cowok-cowok kayak gitu. Gak usah 1 Indonesia deh, minimal 1 daerah di Jakarta dulu. Padahal Retti juga kalo keluar naek angkot juga mikir gitu, gak mungkin pake baju yang macem-macem. Paling kaos sama jeans panjang, itu masih ada aja yang godain. Pasti retti kasih jari tengah nge-fuck-in gitu, ato Retti tatap matanya, ato teriakin biasanya ‘LO NGOMONG SAMA GUE?’ Uda suka dinasehatin emang biar dibiarin aja, tapi Retti udah gak bisa kompromi sama hal-hal kayak gitu”

“Ya sebenernya gak usah gitu, Retti pikir aja kalo Retti ngeladenin mereka, Retti sama kampungannya sama mereka. Mama juga sering kalo lagi jalan, terus ada yang godain ‘Halo mama.. mau ke mana?’ Ya mama biarin aja, nanti juga diem sendiri”

“Ya uda kan kita uda sering bahas ini. Mama bisa diem aja, tapi sori, Retti enggak. Mereka harus tau kalo semua cewek gak bisa digituin. Okelah ada cewek yang diem aja, gpp, itu pilihan mereka. Tapi ini pilihan Retti, mereka harus tau kalo gak semua cewek bakal diem aja. Haduh, pasti emosi Retti kalo ngomongin ginian. Mereka gak mikir ya, gimana gitu misalnya kalo pacar mereka yang digituin, mereka marah gak. Ckck. Otak ditaroh di pantat. Pokoknya Retti gak bisa kompromi sama orang-orang kampungan kayak gitu”

Iya, saya gak bisa kompromi sama orang-orang kampungan kayak cowok-cowok yang suka godain cewek di jalan. Saya pasti emosi kalo ngebahas ini. Gak habis pikir gitu. Marah-marah sama mereka, capek gak? Ya capek. Tapi mereka harus tau, gak semua cewek bakal diem aja. Dulu saya pernah jalan kaki di depan Kemendiknas, ada sekelompok cewek berseragam sekolah di depan saya. Salah satu dari mereka digodain tukang ojek, pake di-towel pula tangannya. Cewek itu diam saja, tapi saya yang di belakangnya emosi sampe ke ubun-ubun. Untung, waktu itu saya bersama seorang teman yang menahan saya biar gak marah-marah sama tukang ojek itu.

Capek gak? Ya capek, apalagi kalo setiap kali pergi naek angkot atau jalan di jalanan umum, mengalami hal serupa. Tapi puas juga, kalo gara-gara sikap itu, mereka jadi segan. Dulu waktu keluarga saya masih ngontrak rumah di Cideng, di depan gang ada tempat kost pria yang dihuni para salesman. Suatu siang saya lewat depan situ bersama mama saya, para salesman itu lagi ngumpul di depan. Saya lewat, mereka siul-siul nyebelin, pake bisik-bisik ‘kenalan donk’. Saya langsung balik badan lalu neriakin mereka ‘Lo ngomong sama gue?! Mau kenalan sama gue!? Ngomong kalo berani!’, mereka langsung diam dan tidak berani melihat saya. Sejak saat itu, kalo saya lewat situ lagi dan mereka sedang bergerombol, gak ada yang berani godain saya. Kalo di jalan umum terus digodain, sebelum ngabisin tenaga buat teriak atau marah-marah, biasanya saya nengok terus natap mata yang godain saya dulu. Biasanya mereka kaget, gak nyangka kalo saya berani negok dan natap mata mereka, lalu mereka langsung diam dan pura-pura gak ngeliat saya. Ya sudah. Tapi kalau masih berani ngomong, baru deh saya marahin. Saya ngalamin ini di mana-mana. Sampai sekarang. Di jalan, di kereta ekonomi, di terminal, bahkan di halte busway depan gang rumah. Yang godain saya di halte, si penjaga tiket pula, ckck. Abis saya liatin, dia gak berani gituin saya lagi sampai sekarang. Di pusat perbelanjaan di kawasan Thamrin juga pernah. Gila kan? Padahal yang dateng ke situ orang-orang berpendidikan, tapi ternyata, ada juga yang kampungan. Saya sebut kampungan loh ya, bukan orang kampung. Orang kampung yang asli mah lugu dan baik-baik. Saya pernah kok tinggal di kampung di kaki gunung Merapi waktu live-in SMA dulu. Orangnya ramah dan baik-baik. Pemuda desanya juga sopan-sopan, masih suka bantuin adeknya bikin PR pula. Beda sama cowok kampungan di Jakarta HIIH!

Oiya, di sebuah KFC di bilangan Sudirman juga pernah. Yang ngisengin saya pegawai KFC-nya sendiri lagi. Ini agak kelewat batas isengnya. Gatel sih pengen cerita, tapi berhubung karyawan dan manager-nya sendiri uda minta maaf, jadi gak saya share di publik deh ya, gak mau cari ribut. Tapi kalau ada yang mau nanya langsung kejadiannya gimana, tanya aja langsung ke saya, pasti saya jawab :p

Satu lagi, digodain polisi juga pernah. Gile gak. Polisi yang ngakunya pengayom masyarakat tuh katanya. Jadi ceritanya, tahun lalu hari Senin tanggal berapa Oktober gitu saya lupa, saya mau motret demo di silang Monas. Udahan kan demonya. Nah, saya mau nebeng temen saya yang sekarang jadi pacar saya. Jalan kakilah kita ke tempat mobilnya di parkir, deket Jalan Veteran. Kita ngelewatin segerombolan polisi yang lagi menjaga biar beresnya demo berlangsung tertib (harusnye sih gitu yee). Padahal saya bareng laki-laki tuh lewatnya, eh mulai ada satu yang siul-siul terus diikutin sama temen-temennya yang laen, pake ngomong-ngomong apa gitu saya lupa. Saya nengok donk, seperti biasa senjata andalan adalah ngomong “Lo ngomong sama gw!? Ngomong sini kalo berani!”, eh mereka masih tetep kurang ajar loh. Mentang-mentang pake seragam. Saya sih malu, pake seragam godain cewek mungil kayak saya gini. Godain Chris John noh sono kalo emang jantan. Untung juga waktu itu saya ditahan sama Sophan. Ckckckck.

Orang-orang kampungan itu, gak pernah mikir dikit apa ya, gimana kalo orang tercinta mereka yang berjenis kelamin perempuan, digituin orang? Ckck. Mama saya pernah bilang, nanti kalau saya uda punya dan naik kendaraan sendiri, hal-hal kaya gitu gak akan terjadi lagi. Iye, amin. Tapi saya mikir juga, tetep bakalan ada cewek-cewek yang digituin di jalan. Sampe kapan? Kalo saya punya anak perempuan, saya gak mau dia nanti digituin orang. Siapapun yang mikir ga apa-apa anak perempuannya digodain cowok kampungan di jalan, pasti gak waras.

Saya tau postingan blog saya akhir-akhir ini gak mutu, isinya sentimentil sama curhatan mulu. Maaf kalo ada yang gak berkenan. Lewat cerita di atas saya cuma mau memberikan penghargaan pada perempuan-perempuan Jakarta, yang tiap hari naik angkutan umum dan jalan kaki di trotoar, terancam digodain atau diisengin cowok-cowok kampungan, lalu kalau beneran kejadian ya cuma bisa narik napas dan nganggep itu gak pernah terjadi walau sebenernya emosi sampe ubun-ubun. Kalian akan selalu mendapatkan tempat di hati saya. Semoga suatu saat emosi yang tertahan di benak kita, atau sempat terlampiaskan, terbalaaaaaaaas! Amin!

*ditulis dengan emosi yang keluar-masuk selama 7 tahun

Monday, August 8, 2011

A Reminder, A Dreamcatcher

Kita manusia, punya mimpi. Ada yang tampak mustahil didapat tapi ternyata semesta mendukung terjadinya hal itu, ada juga yang kita kira bisa kita dapat namun ternyata tidak bisa. Asal sudah usaha, saya kira orang tidak akan menyesal. Pasti ada pembelajaran di balik semua usaha yang telah dilakukan (ditemani darah, air mata, dan keringat).

Kira-kira setahun lalu, tepatnya 20 Juni 2010, saya mengunggah sebuah foto di facebook. Agak norak memang. Foto sebuah surat dari School of Visual Arts (SVA), New York. Bukan surat bahwa saya diterima di sana, bukan pula surat panggilan wawancara universitas atau penerimaan beasiswa. Hanya sebuah surat yang menyampaikan rasa terima kasih mereka karena saya tertarik pada program graduate di sana, dan bahwa katalog yang saya pesan secara online akan sampai pada bulan Agustus. Tapi sungguh, saya tidak mengira bahwa mereka akan mengirim surat itu ke alamat saya di Bogor, Indonesia, lalu mengirim katalog pada bulan Agustus. Gratis.


Saya terinspirasi dari Yuko Shimizu, seorang ilustrator internasional, yang menyelesaikan kuliah desainnya di SVA. Apalagi SVA memiliki program master dalam fotografi, sesuatu yang saya sangat minati. One thing I passionate about. Sosok Yuko sendiri sangat berkesan bagi saya, tapi itu cerita lain. Intinya, Yuko adalah seorang Jepang yang tumbuh dalam keluarga yang tidak menganggap seni sebagai sebuah jalan hidup. Selama 10 tahun ia bekerja sebagai akuntan, sukses, namun tidak bahagia. Akhirnya ia mengambil langkah ekstrem dengan meninggalkan pekerjaan dan kehidupannya yang sudah mapan, untuk kuliah lagi selama 4 tahun di SVA, New York. Mendalami ilustrasi, sesuatu yang ia minati. Tidak ada kata terlambat untuk belajar. Sebagai ilustrator, tentu Yuko bersaing dengan teman-temannya yang lebih muda dan telah memulai debut ilustrasinya lebih awal, namun Yuko bisa sukses karena ia mencintai dunia ilustrasi. Dan gigih.

Waktu berlalu dari setahun lalu dan saya yang pemimpi mulai beranjak realistis, mudah-mudahan tidak sampai pesimis. Ah ya sudahlah tidak apa-apa kalo gw gak bisa kuliah di sana, ah ya udahlah mungkin kerja di situ enak juga ya, ya udahlah gw sekarang apply beasiswa ke mana aja asal dapet, kalo peminatannya masih bisa gw ikutin ya gak apa-apa, ah ya udahlah ah ya udahlah.. Ya sudahlah.

8 Juli 2011, deadline gelombang kedua pengumpulan skripsi bagi angkatan saya. Dengan bantuan berbagai pihak yang kasat dan tak kasat mata, saya berhasil menyelesaikannya dalam waktu 1 bulan. Sebuah analisis semiotika karya fotografi Island of the Spirit oleh John Stanmeyer. Adalah seorang sahabat, Amalia Sekarjati yang berjanji kepada saya bahwa bila saya mengumpulkan skripsi pada deadline gelombang kedua, ia akan memberi saya notebook tua-tua sekolah. Warna biru, kesukaan saya. Begitulah 9 Juli 2011 kami bersua di Kineforum lalu bersantai di Bakoel Koffie Cikini. Ditemani Shirley Tamara, seorang sahabat juga.

Dan inilah penampakan muka notebook tersebut:

Tua-tua sekolah sendiri adalah proyek penggalangan dana beasiswa yang dirancang oleh Cecil Mariani, Felencia Hutabarat, dan Lisabona Rahman. Mereka bertiga adalah pekerja seni dan budaya yang peduli pada perkembangan dunia seni dan budaya Indonesia. Cecil, Ellen dan Lisa akan melanjutkan sekolah ke jenjang S-2. Mereka bertiga sudah diterima di 3 universitas yang prestisius di Belanda dan Amerika Serikat dan selama dua tahun terus mencoba berbagai kemungkinan mengumpulkan dana studi. Salah satu cara pengumpulan dananya adalah dengan menjual notebook yang desainnya simpel tapi menarik (beli ya! :D)

"Buka donk, Gor!", kata Sekar

Saya yang penasaran, membuka halaman pertama notebook kecil itu. Dan ternyata..


Ada tulisan Mbak Cecil Mariani di dalamnya, lengkap dengan tanda tangan.
SVA onward and beyond.

"AAAAAAAaaaaaaaaaaaaaaaaa... Hahahahaaa...." Saya histeris kayak ABG lalu tertawa-tawa. Terus terang saya gak nyangka, jadi terkejut sekali. Kecup dan peluk beribu-ribu kali gak cukup buat Sekar! Terima kasih sabidut!
Pesan Sekar:


Saya senang. Lebih senang lagi karena malam itu saya dan Shirley juga bercerita macam-macam yang berkaitan dengan impian, halangan, kemungkinan. Sepulangnya Shirley, saya dan Sekar melanjutkan malam minggu di McD Cikini. Berbagi macam-macam, kebanyakan tentang pilihan hidup, mimpi, cinta Sekar pada film yang seperti dipaksakan (:p), akan jadi apa kita kelak? Masa depan tidak ada yang tahu. Namun yang pasti malam itu, saya diingatkan bahwa saya pernah punya mimpi yang tinggi. Begitupun Yuko Shimizu dulu dan Mbak Cecil Mariani sekarang. Harusnya saya malu kalau jadi pesimis. Kalau memang suatu saat nanti harus ekstrem untuk tujuan yang baik, seperti meninggalkan kemapanan semu untuk kemapanan lain yang diiringi kebahagiaan, atau berjualan notebook lalu mendedikasikan ilmu yang didapat pada bidang yang diminati; berapapun umur kita, kenapa tidak?

Terima kasih. Sudah diingatkan. Terima kasih.