Don't make friends with bad persons, who are negatives or hurt you pyshically and mentally; it makes sense. Don't marry them, it makes sense. Don't make friends or don't have married with someone who are not in your race, your tribe, who don't have faith in the same religion as yours; it doesn't make sense. At all. You are not Hitler. And we've passed millenium, people. All we need is love. Peace, MG.

Wednesday, August 15, 2012

Dua Bulan Penuh Kejutan


Telah kurang lebih dua bulan saya meraba kehidupan di Desa Penai, Kecamatan Silat Hilir, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Eh, maaf, maksud saya, Kota Penai. Daerah yang masih akan saya tinggali hingga sepuluh bulan ke depan, menurut saya sudah kehilangan identitasnya sebagai sebuah desa. Namun fisiknya masih tanggung untuk disebut sebagai kota. Kalau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan, sebuah daerah sepantasnya disebut kota jika sudah memiliki jaringan listrik dan sebagian besar penduduknya bekerja di luar bidang pertanian. Memang, di Penai dua poin itu belum bisa dicoret dari daftar karakteristik daerah; namun dari tingkat perekonomian penduduk, saya rasa bolehlah predikat desa digeser dari nama Penai.
Kalau akun twitter TMC Polda Metro Jaya suka menyebut “anak-anak tanggung” sebagai subtitusi kata “anak baru gede”, barangkali Desa Penai juga bisa disebut sebagai Kota “Tanggung” Penai. Terkejut? Sudah tentu. Semenjak masih didampingi Pengajar Muda sebelumnya di desa ini, sudah beragam kejutan yang saya terima dari bekas pulau bergerak tersebut.

Kejutan Pertama

Tingkat perekonomian penduduk desa cukup tinggi. Orang terkaya di Penai punya Ford Ranger, speed boat (di sini disebut speed terbang), baju bermerek mulai dari jeans Wrangler dan kaos Poshboy. Bukan maksud mengukur kesuksesan dari merek barang yang dimiliki, tapi tidak kusangka akan menemukan hal-hal semacam itu di Penai.
Mata pencaharian utama penduduk desa ini adalah tambang emas, menoreh getah karet, dan berdagang. Saya belum tahu pasti berapa gram emas yang bisa dihasilkan dalam sehari. Yang pasti, dari satu kilogram getah karet yang bisa ditoreh oleh penduduk, mereka mendapatkan upah minimal Rp 9.000,00 dan maksimal Rp 21.000,00. Harga karet turun jika sedang kemarau. Jika musim hujan, harganya akan naik. Sementara harga getah karet biasanya, taruhlah Rp 10.000,00 hingga Rp 11.000,00. Ketika libur kenaikan kelas, beberapa orang tua sering memberdayakan anaknya untuk turut menoreh. Dari hasil kerja seorang ibu dan seorang anak, tiap hari mereka dapat menoreh 10 kg getah karet.
Rumah di Penai banyak yang sudah terbuat dari bata dan beton. Murid saya bahkan ada yang memiliki Blackberry. Beberapa warga Penai memiliki rumah dan usaha rumah kos di Sintang, kabupaten setelah Kapus Hulu. Ah, tapi bukannya jika tingkat perekonomian suatu daerah tinggi, bukankah kita harus bersyukur?

Kejutan Ke-dua

Peristiwa ini, mungkin salah satu yang membuat saya kerap tertawa kecil jika mengingatnya. Kamis, 20 Juli 2012, ketika sedang menikmati es teh manis saat waktu istirahat kedua, tiba-tiba seorang laki-laki paruh baya masuk ke kantor guru. “Bu Retti mana?” tanya laki-laki yang ternyata adalah Paulus, Kepala Desa Penai. “Ya, ada apa pak?” ujar saya sambil menghampiri Pak Kades, sama herannya dengan kepala sekolah dan para guru dalam ruangan tersebut. “Begini, saya mau menjemput Bu Retti ke Miau Merah..”
Glek. Tenggorokan saya bagai tersekat. Hari itu adalah hari pembukaan KRK (Kebangun Rohani Katolik) di Desa Miau Merah. Sudah dari minggu lalu Pak Kades dan segenap umat Katolik mengajak saya untuk ikut. “Tim dari Jakarta yang bikin acara lho, bu,” iming-iming mereka. Acara tersebut berlangsung pada minggu pertama sekolah. Kalaupun saya memang tertarik mengikuti acara tersebut, tidak sepantasnya saya langsung minta izin padahal baru minggu pertama mengajar. Terlepas dari pencarian spiritual yang sedang saya jalani dan betapa saya berusaha tidak terlibat dalam ranah keagamaan saat mengemban tugas sebagai pengajar muda, ternyata takdir sudah menorehkan garisnya sendiri. “Kita cuma ikut misa pembukaan bu, nanti malam pulang lagi ke Penai. Saya dan Pak Hamid juga tidak daftar ikut KRK..” (Pak Hamid adalah seorang penduduk yang cukup disegani di Penai, almarhum ayahnya adalah temanggung)
Yang terjadi, terjadilah. Dengan Pak Kades dan beberapa warga, saya turun ke Miau Merah. Setelah menempuh perjalanan air dengan speed boat dan perjalanan darat menggunakan mobil selama total sekitar tiga jam, sampailah kami di Miau Merah. Sampai di gereja, ternyata warga Penai yang mendapat mandat untuk mengisi paduan suara. Jadilah saya bergabung dengan warga lain untuk berlatih nyanyian yang akan dilagukan pada misa pembukaan di malam harinya.
Ternyata KRK tersebut cukup unik karena acara pembukaannya diwarnai sentuhan adat Dayak. Tidak ketinggalan, tuaknya. Yah, bisa dibilang untung juga Pak Kades berinisiatif untuk menjemput saya. Terima kasih ya Pak!


 



Kejutan Ke-tiga

Minggu, 29 Juli 2012, ada dua pasangan yang pernikahannya diberkati di gereja Katolik. Seminggu sebelum acara berlangsung, entah dapat ide darimana, Pak Hamid mendaulat saya untuk menyanyi duet dengan Fila, seorang murid SMP. Entah saya dapat ide darimana juga, saya menyanggupi amanat tersebut. Ternyata lagu yang dimaksud adalah “Di Doa Ibuku”, dan akan dinyanyikan saat para mempelai sungkem (minta doa restu) pada orang tua atau wali masing-masing. Mengingat talenta sebagai vokalis tidak dianugerahkan Yang Di Atas pada saya, tiap latihan hingga hari H tiba, saya hanya berharap semoga prosesi yang seharusnya kusyuk dan mengharukan tersebut tidak rusak karena suara saya..

Kejutan Ke-empat

Jumat, 3 Agustus 2012. Sore hari di lapangan sekolah, saya sedang membuat foto profil para murid yang mengikuti lomba karya tulis untuk seleksi delegasi Konferensi Anak Indonesia 2012. Tiba-tiba datanglah murid saya, kelas 6, bernama Suhendra Kelvin. Dia datang mengendarai sepeda dan tangan kirinya memegang sekantung es jeruk.
Iseng saya bertanya, “Apa itu?” walau itu pertanyaan retoris.
Suhendra balas bertanya, “Mau, bu?”
“Mau,” jawab saya, masih iseng.
Lalu saya melanjutkan memotret anak-anak. Beberapa menit kemudian datanglah Suhendra dengan sekantung es jeruk lain. Dia serahkan es jeruk baru itu ke tangan saya.
Saat saya tanya berapa harganya, dia berujar, “Gak tahu, bu!” sambil berlalu mengayuh sepedanya. Sekantung es jeruk dari seorang murid,  tidak terpikir hal lain untuk diharapkan di sore hari yang terik tersebut.

Saya yakin masih banyak kejutan lain dari Penai, dan anak-anak saya, bukan begitu? (:

Tuesday, August 14, 2012

Sebelum Fajar di Kapuas Hulu


Riak air menyeruak
Anak-anak sungai berarak
Tiba aku, kamu, kita
Digiring terik khatulistiwa
Siapakah kita yang menjelang petang?
Pantaskah kita jadi jembatan di atas jurang?
Kita masih rabun
Walau sepuluh tali telah tersimpul
Saling menyusur hingga hulu
Walau diombang-ambing dalam perahu
Siapakah kita yang merindu laku?
Pantaskah kita menjelma bapak, ibu guru?
Asa kita bara bagi mereka
Masih, di sana
Riak air menyeruak
Dan anak-anak sungai berarak


Jatiluhur, 24 Mei 2012

Teruntuk seluruh Pengajar muda. Baik yang telah tunai bertuga, maupun yang sedang berjuang. Terutama bagi kalian, keluarga Kapuas Hulu. Angkat kepalamu, kawan! Saling berpegang pundak! Demi lunasnya janji kemerdekaan, demi anak-anak! (: