Lama sudah tidak
saya goreskan curahan maupun pemikiran pada halaman ini. Dosa bagi penulis,
katanya. Kepada diri saya sendiri dan kepada halaman yang kuacuhkan selama
hampir lima bulan, pengakuan dosa dan maaf mungkin tidak cukup. Maka biarkan
saya memulai lagi, seperti saat ini saya sedang menata kembali hidup yang
sempat tidak saya hidupi.
Pulang
Putussibau,
17 Juni 2012
Mess
Pemda
Saat ini saya sedang
berada di kamar 09, Mess Pemda, Putussibau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan
Barat. Bersama saya adalah Cantika Marlangen, yang sedang beristirahat sambil
sejenak memantau perkembangan dunia luar dari layar telepon genggamnya. Saya dan
Tika, seperti itu Cantika biasa dipanggil, serta delapan orang Pengajar Muda
angkatan 4 lainnya terdampar di bumi uncak Kapuas ini sejak kemarin. Sekitar
pukul 8 pagi, 16 Juni 2012 kami tiba di Bandara Supadio, Pontianak. Setelah
sebelumnya beristirahat di rumah Bupati Muhammad Nasir, kami diajak oleh tiga
orang Pengajar Muda (PM) 2 mengunjungi Megamall. Cukup unik melihat para PM 2
antusias melihat mall dan mengajak kami makan junk food di sebuah kedai pizza.
"Kira-kira enam bulan yang lalu kami terakhir makan yang seperti
ini," kata Belgis, seorang PM 2 Kapuas Hulu. Setelah menikmati
makanan dengan khusyuk, karena tak tahu entah kapan kami akan menjumpai rasa
dan bentuk seperti itu lagi, kami pergi ke Putussibau, ibukota kabupaten Kapuas
Hulu.
Hidup
bersama orang-orang gila
April
- Juni 2012
Jatiluhur,
Purwakarta
Training intensif PM
4 dibuka pada 23 April 2012. Saat itu saya belum menyadari betapa banyak
wawasan dan cara pandang baru yang akan saya dapat. Ruang yang terbatas dalam
beberapa ribu karakter tidak akan cukup untuk menulis ulang tentang siapa, apa,
mengapa, maupun bagaimana kehidupan yang saya jalani selama dua bulan
pelatihan.
Yang pasti, selama
dua bulan itu saya tinggal serta mengalami suka duka bersama ORANG-ORANG GILA.
Teman-teman (yang sangat itu masih menjadi calon) PM 4 adalah orang-orang
tergila yang pernah saya kenal. Para fasilitator, narasumber, departemen
operasi serta seluruh manusia yang terlibat dalam Gerakan Indonesia Mengajar
(apalagi perintisnya!), adalah ORANG-ORANG GILA. Melalui ORANG-ORANG GILA
tersebut, Sang Hyang Widhi mengembangkan kapasitas diri saya. Hidup bersama
orang-orang gila ini juga menempa idealisme sampai egoisme saya, agar apa yang
saya peroleh tidak digunakan hanya sebagai 'pengakuan' namun juga bermanfaat
bagi sesama. Such a inspirational experience! :D
Resign
dari Tempo
Maret
2012
Fatmawati,
Jakarta Selatan
Masih jelas dalam
ingatan saya, liputan terakhir yang saya kerjakan adalah tewasnya seorang
kameraman TVRI, akibat ditembak orang tak dikenal. Setelah menunggu hasil
otopsi hingga kira-kira pukul 9 malam di ruang jenazah RS Fatmawati, saya
segera mengetik berita cepat di telepon genggam. Baterai menipis, sementara
saya masih hutang berita yang diliput pada sore hari itu. Setelah terpaksa
menolak ajakan kawan-kawan media lain untuk makan malam bersama, saya bergegas
menuju 7 Eleven terdekat. Dengan memanfaatkan koneksi internet, saya mengetik
dan mengirim berita melalui laptop. Sambil mengetik, saya berkirim pesan
singkat dengan redaktur piket pada malam Senin itu. Setelah tugas saya selesai
sekitar pukul 11 malam, sayamenikmati minuman sambil mengistirahatkan otot-otot
yang tegang. Tiba-tiba sebuah pesan dari redaktur datang. Sempat saya melengos
dalam hati, "apa lagi ini, bukannya berita sudah saya kirim dan katanya
OK?". Maklum, hari itu cukup melelahkan. Setelah liputan sore hari di
kawasan Mangga Besar, Jakarta Barat, saya harus mengejar berita ke kawasan
Jakarta Selatan. Ternyata pesan singkat itu berbunyi,
Terima kasih ya,
Retti jurnalis :)
Begitulah redaktur
saya. Ketika saya pamit pada rapat mingguan, dia mengatakan kepada saya,
"Retti, saat menjadi guru kamu hanya mengajar dan memberi informasi pada
30 sampai paling banyak 40 orang murid dalam satu kelas. Sementara jika kamu
menjadi jurnalis, kamu dapat memberi informasi pada sekian juta
pembacamu."
Pendapatnya tidak
salah, tapi saya tidak harus setuju dengan hal itu bukan? :p
Setelah dinyatakan
diterima sebagai calon PM 4, saya makin sering membaca blog para PM. Dari situ saya mengambil kesimpulan bahwa mereka
bukan hanya mengajar, namun juga membawa perubahan pada daerah penempatan
mereka. Dampak kehadiran PM di daerah-daerah tersebut cukup positif, saya rasa.
Sesuai dengan pernyataan Anies Baswedan, pendiri Gerakan Indonesia Mengajar,
bahwa mendidik adalah tanggung jawab orang terdidik. Bukan guru atau dosen saja
(:
Tiga bulan menjadi
calon reporter Tempo desk kriminal dan perkotaan, (makin) membuka wawasan saya
tentang kerasnya ibukota. (Makin) membuka mata saya begitu banyak PR yang harus
diselesaikan di ibukota, bersama, oleh pemerintah dan penduduknya. (Makin) membuka
mata saya tentang daerah abu-abu hasil kesepakatan bersama. Tanpa ditempatkan
di desk kriminal dan perkotaan, mungkin saya tidak akan pernah bersentuhan
dengan bandar narkoba, penadah barang curian, ketua RT RW, lurah, camat,
gubernur, kapolres, kanit reskrim, intel, penduduk tanah merah, penduduk
bantaran sungai, dan sebagainya. Masih banyak cerita yang ingin saya bagikan,
mungkin pada laman baru. Terima kasih Tempo, meski hanya tiga bulan saya
mencicipi bekerja di dalammu, telah banyak yang saya peroleh. Termasuk
kesejatian diri. Sekarang saya pulang, ke tempat anak-anakku berada, bumi uncak
Kapuas. Sampai bertemu lagi, ibukota (:
No comments:
Post a Comment