Pokoknya, pa, ma, di desa ini aku tak pernah kelaparan.
Memang, soal makanan aku boleh gembira. Mengenai tantanganku di sini, selain
infrastruktur yang tidak mendukung kondisi geografis, apalah lagi kalau tentang
pendidikan. Aku ingat teman dekatku sering mengajak untuk berkompromi. Di sini
aku mengalami kompromi yang sebenar-benarnya (cenderung pemaksaan, mungkin?).
Ingatkah ma, bahwa aku benci apa yang para badan pengurus suatu sistem sebut sebagai
mark up, apa yang para guru sekolah
dasarku dulu bilang katrol nilai? Aku tak mau menghakimi diriku sebagai paling
benar, aku hanya mau berusaha segan melakukan hal-hal seperti itu, terutama
saat mengemban kehormatan sebagai guru. Ternyata aku dipaksa oleh keadaan untuk
melakukannya. Sampai hati bila aku tak mengusahakan agar anak-anakku ikut ujian
kelulusan SD, hanya karena sebutir atau lebih nilai pelajaran pada rapornya
tidak tuntas. Aku tak menolak, namun juga tak menerima mentah-mentah gagasan
sial tersebut.
“Ceritakan dalam selembar kertas, apa yang akan kalian
lakukan dalam lima tahun ke depan. Terserah kapan kalian antarkan tugas itu ke
ibu. Nanti baru ibu beri rapor kalian,” ujarku pada serombongan murid yang
kubantu agar nilainya memenuhi syarat ketuntasan. Hari-hari berikutnya,
bergantian mereka menyerahkan cerita tentang apa rencana mereka lima tahun ke
depan. Ada yang memberiku cerita detil, ada yang hanya gambaran singkat.
Sebuah wacana karya Fetronila membuatku termenung. Tulisnya, “... Ibu sapengen sekali seperti ibu bisa membahagiakan ke dua orang tua nya...”
Adakah kebenaran dalam tulisan itu , pa, ma, walau hanya secuil, bahwa aku bisa
membahagiakan papa dan mama? Ingatku, sering aku melakukan paksaan agar inginku
dituruti. Tingkahku sama saja dengan keadaan di sini. Bukan kompromi namanya
kalau ada pihak yang merasa ‘dipaksa’. Ketika itu, pastilah aku membuat papa mama
tidak bahagia. Saat-saat itu aku tidak memedulikan kekuatan kompromi, aku
mengacuhkan pembicaraan dari hati ke hati untuk mencari jalan tengah terbaik. Maaf
pasti tidak cukup tanpa tindakan. Tenanglah, pa, ma, sebagai pengajar malah akulah
yang banyak belajar dari kehidupan yang belum sampai setahun kujalani di sini.
Bolehkah aku minta doa papa dan mama? Semoga hidup memberikan
pilihan-pilihan kepada anak-anakku yang dapat mereka kompromikan, sehingga
mereka tidak dipaksa meniti jalan buntu untuk melanjutkan pendidikan dan
membahagiakan orang tua. Semoga.
Note:
Bu Ribka adalah guru honor yang menemani hari-hariku selama enam bulan ke belakang. Sekarang dia telah bekerja sebagai tutor Rumah Pintar di barak perkebunan sawit sebuah perusahaan multinasional. Aku memperoleh banyak pelajaran padanya.
aku terharu...huhuhu
ReplyDelete